Sabtu pagi, 12 Maret 2016
Bagi kebanyakan orang, sabtu merupakan salah satu hari penting. Penting, untuk sejenak mengistirahatkan badan dari rutinitas weekdays, untuk sejenak me-refresh otak yang dipenuhi dengan banyak pemikiran, dan penting bagi sebagian kaula muda yang sudah menanti datangnya malam minggu. Namun, di hari sabtu ini, jangan sampai kita lalai, dengan hanya tidur-tiduran, malas-malasan, dan berbagai kegiatan yang kurang produktif lainnya..
Pagi ini, Matahari belum menampakkan senyumannya. Gelap! Gelapnya pagi ini, semoga tak lantas membutakan mata kita, mata yang tak seharusnya terbutakan, mata yang seharusnya terbuka untuk menerima dan melihat kebesaran-kebesaran Allah.
Gelapnya pagi ini, semoga tak lantas menggelapkan hati kita, hati yang tak seharunya menghitam, hati yang seharusnya terang untuk menuntun jiwa dan raga kita menuju jalan yang benar.
Gelapnya pagi ini, semoga tak lantas mengeruhkan otak kita, otak yang tak sewajarnya menjadi kelam, otak yang seharusnya senantiasa jernih untuk menghasilkan ide cemerlang, menghasilkan pemikiran-pemikiran yang luar biasa.
Gelapnya pagi ini, semoga tak lantas menggelapkan hati kita, hati yang tak seharunya menghitam, hati yang seharusnya terang untuk menuntun jiwa dan raga kita menuju jalan yang benar.
Gelapnya pagi ini, semoga tak lantas mengeruhkan otak kita, otak yang tak sewajarnya menjadi kelam, otak yang seharusnya senantiasa jernih untuk menghasilkan ide cemerlang, menghasilkan pemikiran-pemikiran yang luar biasa.
Pagi ini, saya cukup longgar waktu. Tidak harus ke kantor untuk berurusan dengan bermacam bahan baku. Bahan baku yang nantinya akan mengahasilkan dairy product.
Meski tak sesibuk biasanya, saya tak mau terlena. Saya pagi ini kembali hendak menulis, yang saya menganggapnya ini adalah hal positif, harapannya Allah pun menilai ini sebagai hal positif.
Ditemani kudapan keripik tempe (oleh-oleh dari ilham - bandung) dan kerupuk udang (oleh-oleh dari herdi - bangka belitung) serta segelas kopi 'hari yang baik', tangan ini berkolaborasi manis dengan otak, melantunkan nada-nada romantis, teman menulis.
Pagi sudah mulai cerah, saya mau membicarakan tentang pengorbanan dan hasil. Aih, sok-sokan banget ya, memangnya apa yang sudah dikorbankan, apa pula yang sudah dihasilkan? Entahlah! Saya coba sampaikan ya..
Teman-teman pernah melakukan suatu pengorbanan? Berkorban untuk wanita tercinta misalnya, *eh!
Ya, maksudnya disini saya menganggap teman-teman pernah berkorban untuk suatu hal, terlepas apa itu yang dikorbankan biarkan teman-teman sendiri yang tahu. Begitupun dengan saya, saya pernah mengorbankan sesuatu.
Pernah mendengar kata, hasil itu tidak akan mengingkari usaha (pengorbanan)? Apakah teman-teman setuju? Saya sih, sepakat dengan hal tersebut. Begitupun dengan pengorbanan-pengorbanan yang pernah saya upayakan.
Teman-teman tahu SBMPTN kan? Ya, merupakan salah satu jalur untuk masuk dan menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri. Saya mau berbagi kisah tentang ini, ya ^^
Dulu, mungkin saya tergolong orang dengan predikat jacket syndrome. Apa itu? menurut buku yang ditulis oleh Mas Robbani Alfan, intinya jacket syndrome adalah perilaku seseorang (calon mahasiswa) yang dia mau menjadi seorang mahasiswa, tanpa memperhatikan jurusan yang dia minati, melainkan dia hanya melihat nama Universitas-nya saja.
Kala itu, saya menargetkan untuk bisa masuk di salah satu PTN di Jogkakarta.
Untuk mewujudkannya, saya mencoba mengikuti serangkaian tes - SBMPTN 2015.
Waktu itu, saya semangat sekali mengikutinya. Betapa sulitnya hendak mengikuti tes tersebut, ditengah sibuknya pekerjaan saya, saya harus mengurus beberapa dokumen-dokumen yang membuat saya harus datang ke sekolah dan mengambil cuti pribadi untuk keperluan itu. Namun, ada ketidakyakinan disitu!
Waktu itu, saya semangat sekali mengikutinya. Betapa sulitnya hendak mengikuti tes tersebut, ditengah sibuknya pekerjaan saya, saya harus mengurus beberapa dokumen-dokumen yang membuat saya harus datang ke sekolah dan mengambil cuti pribadi untuk keperluan itu. Namun, ada ketidakyakinan disitu!
Mendapat hak untuk akses website SBMPTN, satu jalan besar terbuka. Saya semakin giat belajar, karena saya paham, vacuum selama setahun sedikit banyak melumpuhkan ingatan saya dan harus dibangkitkan dengan belajar. Belajar? Iya, saya kembali mengulas beberapa mata pelajaran yang memang akan diujikan matematika, fisika, biologi dan kimia. Tak luput, saya download soal SBMPTN tahun sebelumnya, coba saya kerjakan soal Tes Kemampuan Potensi Akademik. Isinya soal-soal tentang kemampuan verbal, penalaran matematis, logika dan pola gambar. Karena ada kunci jawabannya, saya coba cek jawaban saya dengan kunci tersebut, poin 85.7 dari 100 poin membuat saya yakin untuk mengikutinya, tapi bagaimana dengan soal Tes Kemampuan Dasar? Nihil! saya tidak bisa menyelesaikannya semua, matematika? Tak yakin 5 soal bisa saya kerjakan, Fisika? Soal macam apa itu, tak banyak yang saya ketahui, Biologi? Nah, kalau yang ini bisa belajar dengan bantuan atasan saya, dan browsing. Kimia? Yasudahlah, memang sejak awal saya tak jago dengan mata pelajaran ini. Memangnya mata pelajaran lain jago? tidak juga sih sebenarnya. Hehe..
-selingan-
Sekarang, saya sedang di transportasi umum. Commuter line orang-orang menyebutnya. Rame! Ramenya kereta siang ini, sedikit banyak menganggu otak dan tangan saya berkolaborasi. Berhubung ini sudah mau sampai tempat yang saya tuju. Saya putuskan untuk melanjutkannya nanti malam.
Baik, sekarang saya lanjutkan (ditemani syahdu-nya alunan musik payung teduh)
Yaa, singkat cerita saya daftar di 3 PTN. Saya daftar melalui jalur bidikmisi, ini adalah jalur yang sengaja saya ambil karena kondisi keuangan yang memaksa saya untuk mengambil jalur ini. Dua PTN saya pilih karena memang kemauan saya mencari ilmu di kampus tersebut, satu lagi di Universitas Indonesia. UI sebenarnya tidak masuk dalam list keinginan saya, ini hanya sebagai syarat saja. Ketika saya memilih untuk mengikuti tes SBMPTN di suatu provinsi, maka universitas yang dipilih salah satunya harus ada di provinsi tersebut. Jadi, memang UI saya letakkan di pilihan ketiga. Nampaknya memang harus diceritakan, mana saja Universitas yang saya pilih. Pilihan pertama, saya jatuhkan di jurusan TPHP - UGM, sedang pilihan kedua di jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan - UNS, dan pilihan ketiga Teknik Industri - UI. Melihat pilihan 1 dan 2, apakah saya bisa dibilang jacket syndrome? Entahlah. Coba buktikan pada tulisan ini.
Singkat cerita, saya sudah mendaftarkan dan sudah mendapat kartunya.
Namun, semua berubah. Semangat menghilang, lenyap bersama beberapa ilmu yang pernah saya dapatkan. Mengapa demikian? Zona nyaman lah yang seolah menahan langkah saya melanjutkan perjuangan saya. Kompaknya team saya di kerjaan, membuat hati saya enggan melanjutkannya. Senangnya saya terhadap pekerjaan, mendorong saya untuk menghentikan semua perjuangan saya. Aaaaaaah!! Kalau teringat, suka menyesal. Tapi, apalah daya penyesalan? Hmmm....
Namun, semua berubah. Semangat menghilang, lenyap bersama beberapa ilmu yang pernah saya dapatkan. Mengapa demikian? Zona nyaman lah yang seolah menahan langkah saya melanjutkan perjuangan saya. Kompaknya team saya di kerjaan, membuat hati saya enggan melanjutkannya. Senangnya saya terhadap pekerjaan, mendorong saya untuk menghentikan semua perjuangan saya. Aaaaaaah!! Kalau teringat, suka menyesal. Tapi, apalah daya penyesalan? Hmmm....
Seminggu menjelang ujian. Semangat kembali tumbuh? Tidak! Pengorbanan dilanjutkan? Mungkin iya, tapi tak sepenuhnya. Belajar? Tidak! Pasrah? Tidak pula!! Saya pun tak yakin dengan apa yang saya upayakan waktu itu, tapi saya masih berusaha. Saya putuskan untuk tetap mengikuti tes tersebut, melawan hati yang hanya ingin bersatu dengan pekerjaan. Namun, saya tidak yakin apakah usaha ini akan berhasil atau tidak? Karena, kembali lagi. Saya belum siap meninggalkan pekerjaan saya, lantas kapan siapnya?
Besok tes, saya putuskan untuk cuti. Malam ini, saya berangkat ke salah satu teman saya, namanya Agung. Berbekal uang 50.000 saya berangkat ke kost-annya, untuk makan malam, dan ongkos ke Jakarta Timur, menyisakan uang 25.000, aissh. Saya kala itu tak punya uang lagi. Ada banyak prioritas, yang memaksa saya mengantongi uang 50.000 untuk moment bersejarah ini. Paginya, saya langsung menuju ke tempat ujian, karena minggu sebelumnya saya pernah survey tempat ini jadi sya dengan cepat bisa menemukan kembali tempat ini, SMP N 5 Jakarta Pusat. Sekolah yang menjadi saksi perjuangan saya. Uang yang tadinya 25.000, sekarang tinggal berapa ya? saya tak ingat betul, mungkin sekitar 10.0000, karena uangnya sudah saya belikan roti sobek dan minum untuk sarapan. Untungnya, saya masih punya kartu flazz untuk naik busway.
Setumpuk soal sudah mendarat tepat di meja ujian saya. Coba saya kerjakan, tapi tak banyak yang bisa saya kerjakan. TKPA yang awalnya saya rasa bisa mengerjakan, tapi pas ujian tiba tak banyak yang mampu saya pahami, TKD yang memang sejak awal saya merasa cukup berat, terbukti dengan tidak bisa menjawab soal-soalnya. Ditambah lagi tidak belajar, ah sudahlah!
Singakatnya, waktu ujian habis. Semua lembar jawaban saya kumpulkan, sedangkan soalnya saya simpan. Waktu itu, saya meminta di jemput oleh Agung di salah satu halte dekat dengan kost-annya. Lapar! Tak banyak yang bisa saya fikirkan ketika perut kosong, dan minta ditemani dengan asupan karbohidrat-ptotein-serat-lemak dan lain sebagainya. Kebetulan, ketika saya pulang waktunya cukup beraamaan dengan Agung pulang kerja. Kemudian kita memutuskan untuk makan soto ayam, hmm enaknya. Enak yang timbul karena rasa lapar yang sudah menjadi. Eeeh, tak sadar. Memangnya punya uang? Setelah makan, mungkin saya tak banyak bergerak untuk membayar, dengan cekatan makanan saya di bayar olehnya. Mungkin selama ini dia tidak tahu, kalau saya pas makan itu tidak mengantongi uang yang cukup, terimakasih banyak ya Mas Agung untuk asupan energinya. Senang!
Malamnya, saya putuskan untuk pulang. Saya agak lupa, apakah saya ke Bogor dulu untuk paginya bareng dengan teman untuk ke Bekasi, atau malam itu saya langsung pulang. Intinya saya pulang.
9 Juni, 2015 - tanggal dimana saya mengikuti Ujian SBMPTN, dan waktu itu saya menanti untuk segera beranjak ke 9 Juli 2015, karena tanggal itu adalah tanggal pengumuman lolos atau tidaknya SBMPTN. Dan hasilnya? Iya, saya gagal.
Kegagalan ini, mengajarkan saya suatu ilmu.
Kalau diawal saya bilang, saya sepakat dengan hasil tidak akan mengingkari usaha (pengorbanan). Sampai saat menulis ini pun, saya masih semangat. Akan tetapi, poin dari ulasan saya diatas adalah, usaha dan pengorbanan yang tidak sepenuhnya, ya teman-teman tahu lah akan seperti apa hasilnya. Tidak sesuai dengan keinginan! Saya coba merenungkan, artinya ketika kita mengorbankan dan mengusahakan sesuatu harus full bukan malah setengah-setengah, sehingga hasilnya pun tidak maksimal.
Setelah pengumuman itu, saya putuskan untuk mendaftar di salah satu PTS di Jak-Sel jurusan Teknologi Pangan. Dan sampai sekarang saya masih di PTS itu, sampai kapan? Sampai saya mendapatkan kesmempatan untuk masuk ke PTN yang saya pengen. Jujur, jika saya mendapatkan kesempatan itu - akan saya kejar, belajar dari kegagalan saya di SBMPTN 2015. memang ambisius!! Apakah saya termasuk jacket syndrome? silakann teman-teman yang menilai..
Cerita tentang pengorbanan, dan hasil. Seperti itulah cerita pengorbanan saya, dan dengan hasil yang sperti itu.
Gagalnya saya di ujian itu, semoga tak lantas membuat sata down dan tidak semangat lagi..
Gagalnya saya di ujian itu, semoga tak lantas membuat sata down dan tidak semangat lagi..
Kasur-Bantal-Selimut, yang tak se-possesive biasanya, menemani saya menyelesaikan tulisan ini, yang semoga tetap meberikan manfaat.
Terimakasih sudah membaca, dan jangan lupa untuk berkorban sepenuhnya, untuk mendapatkan hasil maksimal seauai target teman-teman!
Bekasi - 13032016 (minggu, pukul 06.30)
Komentar
Posting Komentar